-Sebut saja Mawar-
Selamat malam, Mawar.
Saat menulis tulisan
ini, aku sedang duduk di meja belajar hadiah
pemberian dari nenek tercinta saat aku
masih kelas satu SMP, sambil menyeruput teh yang kuseduh dengan setengah sendok gula. Aku suka minum teh ataupun kopi, teguk demi teguk teh yang menelusup ke dalam kerongkongan sejenak mengingatkan bahwa
masih banyak hal manis di dunia. Termasuk kamu.
Kenangan selalu
menyenangkan, Mawar. Itu yang
aku tau sejak kau pernah bercerita lewat social messenger,
demi chat-chat membahas kelucuan, keanehan dan kebahagiaan waktu makrab/IRFD
(International Relations Friendship Days) tempo bulan September tahun 2013 tepatnya
di Paliyan, Gunung Kidul dulu.
Sebelumnya aku mau bercerita sedikit saat aku
mulai pertama kali mengenalmu. Mungkin kita saling kenal sampai sekarang kalau
diitung-itung masih berumur bibit-bibit jagung baru ditanam. Tapi anehnya, kita
kenalnya pake model apa aku lupa, entah itu pake sebatas sapaan “Hey!” atau
pake jabat tangan dulu kayak Event Handshake ala JKT48. Hahahahaha.
Tapi yang selama ini aku ingat, kita pernah
kenalan sedikit saat pertama kali kau menanyakan aku anak H.I angkatan berapa
tepatnya di lampu merah perempatan jalan besar Janti, namun kau bertanya bukan
ke aku langsung tapi lewat perantara teman sekelasku.
Baiklah, Mawar.
Mari sudahi tulisan di atas karena jika terus
dilanjutkan nanti bisa ngalahin panjangnya Rute jalan Anyer-Panarukan yang
dibangun di era H.W Daendels. Hahahaha.
Anyway, aku serius bertanya tentang kabarmu.
Aku selalu merasa perlu untuk menanyakan keadaanmu. Entahlah, Mawar, aku selalu berharap kau baik-baik saja.
Baikmu, kebaikanku. Apa kabar, kamu?
Mawar, sungguh
benarlah bila dikatakan bahwa hidup hanya berkisar antara sabar dan syukur.
Bersabar dalam setiap menerima ujian, cobaan, dan setiap dera kehidupan. Lalu
bersyukur dan merasa cukup untuk setiap anugerah kebaikan yang Tuhan berikan.
Tapi terkadang, Tuhan meninginkan hal tersebut menjadi kebalikannya. Suatu
saat, kau harus benar mampu bersyukur saat menerima ujian, cobaan, dan
setiap dera kehidupan. Dan kau benar-benar perlu belajar untuk bersabar saat
menerima anugerah kebaikan yang Tuhan berikan. Sebab boleh jadi, setiap
kebahagiaan yang kau terima, adalah cobaan yang melenakan. Membuatmu lupa untuk
bersiap siaga saat kebahagiaan itu sewaktu-waktu menghilang.
Seperti halnya, cinta.
Suatu kali cinta melenakan. Mempesona dengan segala kebahagiaan yang ditawarkan. Menyuntikkan
semangat ke aliran darah hingga kau merasa antusias atas setiap hal yang kau
lakukan. Membuat harimu menjadi berwarna, seperti berdiri pada sebuah taman
hijau maha luas di mana setiap sudutnya dihiasi bunga-bunga, kupu-kupu, dan pelangi. Tapi cinta suatu saat menjadi sedemikian menjengkelkan. Membuat wajahmu memasang
seringai murung. Mengubah harimu menjadi panjang dengan sunyi dan kesepian.
Seperti masuk ke lubang pengap bernama keputusasaan, saat cinta yang kau jaga
begitu saja meninggalkan dan hilang.
Aku tak mengerti mengapa cinta bisa merupa
buah simalakama. Saat dimakan membuat ibu mati, bila dibiarkan membuat ayah
mati. Apa yang akan kau pilih, Mawar?
Buatku, cinta adalah sekumpulan paradoks yang membingungkan. Maka meskipun
menyakitkan, cinta tetaplah membahagiakan. Biarkan saja cinta memaknai dirinya
sendiri. Seorang ksatria yang tangguh pantang mundur saat panji-panji sudah
dikibarkan. Tak mungkin kembali ke belakang, sebab jembatan-jembatan sudah
terbakar. Pilihan terbaik adalah terus berjalan.
Maka, jika pada akhirnya cinta membuatmu
merasa ditinggalkan dan kehilangan, tetaplah berdiri dengan gagah bersama
ketulusan dan kerelaan. Sebab, saat kau memutuskan untuk jatuh cinta, sejatinya
kau telah membuat kesepakatan kepada hati dan pikiran bahwa cinta suatu saat
akan ditinggalkan atau meninggalkan. Tapi, kau tak perlu cemas, kan? Jika hanya
berfokus pada cinta yang menyakitkan, bagaimana kau bisa bahagia? Fokus saja
pada hal yang membahagiakan, hingga pada apapun yang kau lakukan untuk memaknai
cinta, kau akan tetap merasa bahagia. Jangan lupa persiapkan sabar dan syukur
saat menjaga cinta yang kau punya, agar kau memiliki kerelaan dan ketulusan
untuk memaknai cinta tanpa rengekan.
Begitulah, Mawar. Lalu, bagaimana cara kau memaknai cinta?
Apa cinta benar-benar harus memiliki?
Jika iya, bagaimana caraku memilikimu?
Sementara pada saat yang sama, kau telah dimiliki orang lain.
Tapi semua pertanyaan tersebut hanya menjadi hembusan
angin yang gerah atau mungkin terlalu membingungkanmu sampai sekarang ini belum
ada sepenggal kata pun yang bisa kau lontarkan. Di lain sisi, sebenarnya aku
sudah mulai memendam rasa kepada sosok dirimu saat pertama kali aku membalas
mention di sebuah jejaring sosial media. Dan akhirnya, rasa-rasa berbunga mulai
bertautan menyerang hatiku saat kau tiba-tiba muncul di permintaan teman di
Blackberry Mesengger untuk membuatku segera menerima undangan pertemananmu.
Saat itulah aku mulai melontarkan basa-basi tanpa ada alur cerita. Mungkin aku
terlalu gugup, Mawar, walaupun hanya berbincang-bincang hanya lewat social
messengger.
Hari demi hari, rindu pun mulai menyengat di
pikiranku seakan otakku beku dan terbentuk sebuah labirin yang di dalamnya ada
kau. Mungkin kau berteriak untuk keluar, namun di hatiku tetap mengatakan untuk
kau menetap di labirin tersebut sehingga memaksaku untuk memulai
obrolan-obrolan yang tak terlalu penting buatmu. Sepintas waktu, aku pun mulai
sadar bahwa basa-basi yang terlalu lama hanya berujung hilang basa dan
meninggalkan basi semata. Situasi mulai berbeda, Angin berhembus tanpa ada
pedoman, Aroma bunga mulai hilang tanpa ada kata berpamitan, dan waktu pun
mencibirku untuk segera memberanikan diri berkata apa yang ada digoresan
kaca-kaca hati ini. Namun, kau berkata sebaliknya yang aku harapkan, kau telan
mentah-mentah ucapan demi ucapan yang hanya untuk meyakinkan bahwa hati ini mungkin
akan berlabuh.
Harapan pun mulai sirna seperti ribuan butir
pasir pantai yang seiring terkikis oleh derasnya ombak yang tak mau lagi
dipijak oleh ribuan telapak kaki berlarian kesana-kemari saat setelah aku
mendapatkan sebuah berita bahwa kau sudah dimiliki seseorang yang lebih berarti
dariku. Entah harus bagaimana lagi aku untuk melangkah ke depan jika arah
tujuanku mulai hilang yang sudah direnggut orang. Sebenggala bingung pun mulai meracuni
pikiran seakan tubuh tak berdaya tanpa ditopang kuatnya tulang, manisnya bibir
tak lagi menari untuk mengucapkan secerca kata isyarat, dan hati mulai membuka
katupnya untuk pasrah dirobohkan. Namun, semua itu tak ada artinya walaupun aku
melangkah dengan terlunta-lunta dan takut akan perjuanganku dianggap sia-sia.
Dan disitulah aku mulai menantang
kepastian yang pahit untuk memberanikan diri untuk mengungkapkan semua
yang membekas di benakku dengan bermodalkan nekat setelah aku mengirimmu
sepenggal lagu yang aneh, lucu dan tak masuk akal didengarkan orang lain, tapi
bagiku lagu yang aku kirimkan mungkin
sangat bernilai istimewa untuk mendongkrak lagi semangat yang mulai lenyap
karena telah mengetahui kalau kau sudah dimiliki seorang.
Mawar, Aku sangat bahagia sekali setelah
mendapat respon positif darimu akan lagu yang aku kirimkan. Saat kau mulai suka
dengan lagu itu, Aku pun tak kehabisan akal untuk menyenangkan dirimu dengan
mengirimmu sekali lagi sesuatu yang mungkin konyol dengan gambaran yang dinilai
oleh mata orang lain tidak seindah lukisan Monalisa. Anehnya, kau juga suka
dengan gambaran itu. Tapi sangat disayangkan kau berkata kepadaku untuk
bersabar menunggu. Sesuap demi sesuap kata-kata pahit aku telan, bagaimanapun
itu sudah menjadi kenyataan bagiku bahwa menunggu akan menjadi suatu jalan dimana
kebahagiaan akan terpancar didalam, tapi entah berapa lama waktu yang aku
habiskan untuk lebih jenak menanti pernyataan manis untukku yang kau sampaikan.
Memang, menunggu itu sangat menyebalkan. Namun sesebal apapun itu tidak akan
terasa jika hari-hariku dipenuhi aktifitas yang menyenangkan seperti kegiatan
keseharianku di waktu luang. Banyak orang berkata jika menunggu itu bisa
membuat luluh seseorang. Dari situlah, aku ingin membuktikan apakah benar
dengan menunggu bisa meluluhkan seseorang yang kebetulan adalah kau.
Sepintas waktu telah berlalu, kau telah
menjawab apa yang sudah lama aku tunggu. Kau pun mulai mengatakan padaku agar
segera mencari seseorang yang jauh lebih baik darimu dan kau pernah bilang “Tak
ada rotan, akar pun jadi”. Tapi memang benar cinta itu membuat seseorang
menjadi amnesia, kita tau ada yang jauh lebih baik diluar sana, namun hatiku
tidak sependapat dengan ungkapan itu. Dengan mewakili palung hati, diriku
lantang dengan menjawab yang aku anggap semestinya harus aku ucapkan:
Terserah kau mau menanggapi dengan ungkapan
yang terlontar dari ucapanku tersebut, dan aku harap semoga kau bisa mengerti
perasaanku. Memang benar kata orang, cinta itu tidak harus memiliki. Tapi
entahlah, yang harus aku lakukan sekarang ini hanyalah banyak belajar untuk
mencintai dan menyayangi seseorang yang pernah membuat aku bahagia. Berkat itu, aku sangat berterimakasih banyak
dengan kau karena sudah mau menyempatkan waktu bercakap-cakap denganmu walaupun
lewat sebuah handphone. Tapi sebelumnya, aku minta maaf kalau selama ini aku
telah membuat kau gusar dan terlalu banyak pikiran. Maksud dengan tulisan ini
bukan berarti aku mau menjelek-jelekkan kau apalagi membuat kau menjadi malu
ataupun segan saat bertemu denganku. Aku akan amat sangat senang jika kau tetap
menjadi teman di lingkungan perkuliahanku. Dan terakhir, semoga dengan tulisan
ini menjadikan pengalaman indah buatmu dan buatku untuk menyongsong masa depan
yang pernah kita impikan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar